Are You a Stupid Manager ?
Motivasi setiap orang untuk melakukan sesuatu memang tidak sama. Ketika motivasi itu runtuh karena dia tidak mencapai goal-nya, maka demotivasi akan menjadi kisah berikutnya.
Bertemu banyak orang membuat saya kenal banyak karakter. Termasuk juga, menemukan problem-problem yang membelit para manajer perusahaan. Frans, nama yang saya ketik di ponsel, mengeluh di depan saya sambil meneguk cappuccino. “Sepuluh tahun saya kerja dan saya tidak mendapat apresiasi secuil pun,” tuturnya. Manajer muda itu lantas berkisah tentang direksi perusahaan tempat dia bekerja yang dia nilai tidak memberikan support penuh atas ide-idenya. Banyak usulan anggaran yang dia inginkan dicoret semaunya oleh direksi.
Kepada saya, Frans membanggakan diri. “Anak buah saya loyal pada saya. Mereka anggota tim yang menuruti kata-kata saya.” Frans bahkan pernah mengancam manajer HRD yang seangkatan dengan dia. Intinya Frans siap bedol desa, membawa seluruh anak buahnya yang dia bilang loyal itu untuk ramai-ramai resign kalau perusahaan tidak meloloskan anggaran yang masih terkatung-katung. “Saya tidak sabar melihat perusahaan ini kolaps sepeninggal saya dan tim!” Begitu Frans berkisah tanpa rasa malu.
Frans saya kenal tiga bulan lalu dalam salah satu sesi seminar. Dia terlihat cerdas, memang. Dia malah berpendidikan Master dari salah satu institut di Amerika Serikat. Portofolio dia juga tidak bisa dianggap enteng. Dia pernah bekerja di dua perusahaan nasional ternama dan satu perusahaan asing berbasiskan IT di Lembah Valley, San Fransisco. Sebagai penggerak anak buah, dia memang patut diacungi jempol. Setidaknya dari cerita dia, anak buah gampang tunduk dan menurut komandonya.
Sayangnya, kepandaian dia mengambil hati anak buah tidak terjadi saat dia mengambil hati atasannya. Frans akhirnya masuk ke jurang problem komunikasi dengan pimpinan, berlanjut ke trust problem, dan buntutnya, Frans terperosok dalam situasi demotivasi.
Herannya, Frans tetap bertahan di tempat itu. Kepada saya dia menunjukkan sikap pasrah sekaligus masa bodoh. “Saya sih tetap kerja, tetap bertanggung jawab, ya tapi saya kecewa ini. saya tidak happy.”
Poinnya adalah, Frans ini manajer bodoh atau pintar sebenarnya?
Stupid or Smart Manager
Frans bukan orang pertama yang saya temukan dalam kondisi dan perilaku seperti itu. Dalam banyak sesi coaching perusahaan yang saya alami, model-model leader seperti itu mudah ditemukan. Mudah juga diindentifikasi tanpa perlu banyak tanya jawab. Sepuluh menit pertama Anda mewawancarai mereka, Anda sudah sudah bisa membatin, oh … ini orang seperti Frans.
Apakah manajer dengan cara berpikir seperti frans ini dapat disebut manajer smart? Atau malah stupid? Telinga Anda akan mendengar dia adalah orang smart. Prestasinya, pengalaman kerjanya, kemampuan menggerakkan anak buah, daya kritisnya seolah menjadi parameter dia adalah manajer smart. Namun semakin Anda berkonsentrasi “membaca” makna dibalik kata-katanya termasuk keluhannya dia tak lebih dari seseorang yang stupid.
Sudah tidak suka, kecewa sana sini but you still stay in the same place. Lantas bekerja asal-asalan. Sekadar memenuhi tugas. Miskin inisiatif, motivasi drop, berperilaku dan berkata negatif saat meeting, menjadi orang yang pasang kuda-kuda setiap kali bertemu dengan atasan yang tidak disukai. Bahkan ketidaksukaan Franas pada atasan menjalar sampai pada perilaku tidak respek kepada CEO-nya yang setiap lima tahun sekali diganti. Dia memilih ngantor dengan wajah apatis.
Sepuluh tahun bukan masa kerja yang sedikit untuk seseorang seperti Frans ini. Demotivasi dapat menjadi kanker yang menggerogoti etos kerja. Jadi, bagaimana kita mendiagnosis kasus ini agar tidak memadamkan motivasi kerja? David McClelland menjelaskan tiga jenis motivasi, yang dia paparkan dalam buku ”The Achieving Society”, yaitu motivasi untuk berprestasi, motivasi untuk berkuasa, dan motivasi untuk berafiliasi/bersahabat.
Kebutuhan untuk memperoleh prestasi merupakan dorongan untuk mengungguli, berprestasi sehubungan dengan seperangkat standar serta bergulat untuk sukses. Jika Anda pernah mempelajari hierarki Maslow, kebutuhan ini terletak antara kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Ciri-ciri manajer yang menunjukkan orientasi tinggi terhadap prestasi diperlihatkan antara lain dengan bersedia menerima risiko yang relatif tinggi dan keinginannya untuk mendapatkan umpan balik tentang hasil kerja mereka.
Berbeda halnya dengan manajer yang memiliki motivasi kekuasaan. Ia memiliki goal dalam bertindak agar berpengaruh terhadap lingkungannya, memiliki karakter kuat untuk memimpin dan memiliki ide-ide untuk menang. Masih dalam kategori ini, si karyawan bisa jadi juga termotivasi untuk meraih peningkatan status dan prestise pribadi.
Kategori ketiga adalah keinginan untuk berafilisasi, bersahabat, memperoleh hubungan harmonis dengan orang-orang di sekitarnya. Ia akan merasa memperoleh goal ketika tindakannya menghasilkan relasi sosial yang lebih baik dibandingkan sebelumnya.
Lantas apa hubungannya dengan Frans tadi? Dia Anda jika berada dalam situasi yang sama perlu segera memperbaiki diri dengan melakukan beberapa hal berikut ini.
Pertama, mencari tahu tujuan yang paling mendesak dan spesifik Anda. Beberapa orang memiliki gagasan yang kabur atau umum tentang apa tujuan mereka, tetapi sangat penting untuk keberhasilan Anda adalah mengidentifikasi hal yang menjadi motivasi Anda melakukan sesuatu. Prestasikah? Kekuasaankah? Atau relasi sosial yang lebih berkualitas?
Kedua, ambil secarik kertas dan tuliskan timeline Anda sejak masuk kerja hingga hari ini. Apakah Anda sudah dalam track yang tepat? Apakah Anda sudah memperoleh hal-hal yang memotivasi Anda? Apakah Anda memang sudah melakukan action untuk meraih semua itu secara tepat?
Ketiga, buatlah rencana baru. Anda yang memutuskan. Mau tetap stay di kantor ataukah cabut dari situ. Anda tidak mungkin membiarkan kompetensi dan ethos kerja Anda membusuk di satu tempat yang tidak mendukung pengembangan diri. Resign adalah salah satu solusi bila 10 tahun bekerja malah membuat Anda seperti kecebong yang belum juga bermetamorfosis menjadi katak. Anda adalah ulat yang seharusnya sudah terbang dalam wujud kupu-kupu. Sekali Anda memilih stay di kantor yang sebetulnya tidak membuat Anda berkembang, atau malah mendorong Anda berperilaku negatif, Anda sudah melakukan tindakan stupid.