7 Penyebab Utama Kenapa Suksesi dalam Family Business Menjadi Gagal
Freddy Liong – Family Business Transformation Specialist
Bisnis keluarga adalah salah satu bentuk usaha yang banyak ditemukan di Indonesia. Menurut data dari Kementerian Koperasi dan UKM, sekitar 95% perusahaan di Indonesia adalah bisnis keluarga yang berkontribusi sebesar 82% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Bisnis keluarga juga memiliki pengaruh yang cukup besar di berbagai industri utama, seperti properti, agrikultur, energi, dan consumer goods2.
Namun, bisnis keluarga juga menghadapi tantangan yang tidak kalah besar, yaitu menjaga keberlangsungan usaha dari generasi ke generasi. Data menunjukkan bahwa hanya 13% bisnis keluarga yang bertahan hingga generasi ketiga. Faktor utama yang menyebabkan kegagalan bisnis keluarga adalah suksesi atau pergantian kepemimpinan yang tidak berhasil.
Suksesi bisnis keluarga merupakan proses yang kompleks dan sensitif, yang melibatkan aspek-aspek seperti emosi, hubungan, kompetensi, dan visi. Jika tidak dipersiapkan dan dilakukan dengan baik, suksesi dapat menimbulkan konflik, ketidakharmonisan, dan kerugian bagi bisnis keluarga.
Berikut ini adalah 7 penyebab utama kenapa suksesi dalam bisnis gagal, beserta contoh-contohnya dan uraiannya:
1. Tidak ada perencanaan dan persiapan yang matang
Perencanaan dan persiapan yang matang adalah kunci utama untuk suksesnya suksesi bisnis keluarga. Namun, banyak bisnis keluarga yang mengabaikan hal ini dan hanya berjalan seperti biasa, tanpa memikirkan masa depan usaha mereka. Para pendiri dan pemegang saham merasa senang dengan perkembangan bisnis yang mereka pimpin sendiri, dan tidak mau melepaskan kendali kepada generasi berikutnya. Mereka juga menganggap anak-anak mereka tidak mampu menggantikan posisi mereka, dan tidak memberikan kesempatan kepada mereka untuk belajar dan berkontribusi dalam bisnis.
Akibatnya, ketika harus terjadi suksesi, baik karena faktor usia, kesehatan, atau kematian, generasi penerus menerima secara kaget dan tidak siap. Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan, karena tidak memiliki pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan yang cukup. Mereka juga tidak memiliki visi dan misi yang jelas, serta tidak mendapat dukungan dari para pemegang saham, karyawan, dan pelanggan.
Suksesi pun gagal total, dan bisnis keluarga pun berakhir.
Contoh: Salah satu bisnis keluarga yang mengalami kegagalan suksesi karena tidak ada perencanaan dan persiapan yang matang adalah Bakrie Group. Bakrie Group adalah salah satu konglomerat terbesar di Indonesia, yang didirikan oleh Achmad Bakrie pada tahun 1942. Bisnis ini berkembang pesat di berbagai sektor, seperti pertambangan, telekomunikasi, properti, media, dan infrastruktur. Pada tahun 1992, Achmad Bakrie menyerahkan kepemimpinan bisnis kepada anak-anaknya, yaitu Aburizal Bakrie, Nirwan Bakrie, Indra Bakrie, dan Rosan Roeslani. Namun, suksesi ini tidak berjalan mulus, karena adanya persaingan dan konflik antara para anak.
Mereka juga tidak memiliki strategi yang jelas untuk menghadapi krisis ekonomi, utang yang menumpuk, dan skandal korupsi yang menimpa bisnis mereka. Pada tahun 2015, Bakrie Group terancam bangkrut, dan harus menjual sebagian besar asetnya untuk membayar utang
2. Tidak ada kriteria dan proses seleksi yang objektif
Kriteria dan proses seleksi yang objektif adalah faktor penting untuk menentukan siapa yang layak dan cocok untuk mengambil alih kepemimpinan bisnis keluarga. Namun, banyak bisnis keluarga yang tidak memiliki kriteria dan proses seleksi yang objektif, melainkan hanya berdasarkan faktor-faktor seperti usia, jenis kelamin, status, atau kesukaan. Hal ini dapat menimbulkan ketidakadilan, ketidakpuasan, dan ketidakpercayaan di antara anggota keluarga, serta menurunkan kualitas dan kinerja pemimpin yang dipilih.
Salah satu contoh kriteria dan proses seleksi yang tidak objektif adalah menempatkan anak tertua sebagai pemimpin bisnis keluarga, tanpa mempertimbangkan kemampuan, bakat, pendidikan, dan wawasan yang dimilikinya. Hal ini dapat menyebabkan anak tertua merasa terbebani, tidak kompeten, dan tidak dihormati oleh saudara- saudaranya. Di sisi lain, anak-anak yang lebih muda merasa tidak diakui, tidak diberdayakan, dan tidak memiliki kesempatan untuk berkembang. Akibatnya, suksesi menjadi tidak efektif, dan bisnis keluarga pun mengalami kemunduran.
Contoh: Salah satu bisnis keluarga yang mengalami kegagalan suksesi karena tidak ada kriteria dan proses seleksi yang objektif adalah Samsung Group. Samsung Group adalah salah satu konglomerat terbesar di Korea Selatan, yang didirikan oleh Lee Byung-chul pada tahun 1938. Bisnis ini berkembang di berbagai sektor, seperti elektronik, telekomunikasi, semikonduktor, perbankan, dan konstruksi. Pada tahun 1987, Lee Byung-chul meninggal dunia, dan menyerahkan kepemimpinan bisnis kepada anak tertuanya, yaitu Lee Kun-hee. Lee Kun-hee berhasil membawa Samsung menjadi perusahaan global, dengan fokus pada inovasi dan kualitas. Namun, pada tahun 2014, Lee Kun-hee mengalami serangan jantung, dan harus dirawat di rumah sakit. Sejak saat itu, suksesi bisnis Samsung menjadi bermasalah, karena tidak ada kriteria dan proses seleksi yang jelas untuk menentukan penerusnya. Lee Kun-hee memiliki tiga anak, yaitu Lee Jae-yong, Lee Boo-jin, dan Lee Seo-hyun. Namun, hanya Lee Jae-yong yang dianggap sebagai calon pemimpin bisnis Samsung, karena dia adalah anak laki-laki tertua, dan sudah menjabat sebagai wakil ketua Samsung Electronics. Padahal, Lee Boo-jin dan Lee Seo-hyun juga memiliki pengalaman dan prestasi yang tidak kalah, sebagai presiden direktur Hotel Shilla dan presiden Samsung C&T. Selain itu, Lee Jae-yong juga terlibat dalam berbagai skandal korupsi, yang mengancam reputasi dan kredibilitas bisnis Samsung
3. Tidak ada pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan
Pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan adalah hal yang diperlukan untuk mempersiapkan dan meningkatkan kualitas generasi penerus bisnis keluarga. Namun, banyak bisnis keluarga yang tidak memberikan pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan kepada generasi penerus, melainkan hanya memberikan tugas-tugas yang rutin, tidak berpengaruh, dan tidak menantang. Hal ini dapat membuat generasi penerus merasa bosan, tidak termotivasi, dan tidak memiliki kompetensi yang dibutuhkan untuk mengelola bisnis keluarga.
Salah satu contoh pembinaan dan pengembangan yang tidak berkelanjutan adalah menempatkan generasi penerus pada posisi yang tidak sesuai dengan minat, bakat, dan potensi mereka. Hal ini dapat membuat generasi penerus merasa tidak nyaman, tidak bahagia, dan tidak berkontribusi secara optimal dalam bisnis keluarga. Di sisi lain, generasi penerus juga tidak mendapatkan kesempatan untuk belajar dari posisi- posisi yang lebih strategis, penting, dan menantang. Akibatnya, ketika harus mengambil alih kepemimpinan bisnis keluarga, generasi penerus tidak memiliki kesiapan, kepercayaan diri, dan kredibilitas
4. Tidak ada komunikasi dan keterbukaan yang efektif
Komunikasi dan keterbukaan yang efektif adalah hal yang sangat penting untuk menjaga hubungan yang harmonis dan produktif di antara anggota keluarga dan pemangku kepentingan bisnis keluarga. Namun, banyak bisnis keluarga yang tidak memiliki komunikasi dan keterbukaan yang efektif, melainkan hanya berkomunikasi secara sporadis, tidak jelas, dan tidak jujur. Hal ini dapat menimbulkan kesalahpahaman, ketegangan, dan konflik di antara anggota keluarga, serta menurunkan kepercayaan dan loyalitas dari karyawan, pelanggan, dan mitra bisnis.
Salah satu contoh komunikasi dan keterbukaan yang tidak efektif adalah tidak memberitahukan dan mendiskusikan rencana suksesi kepada anggota keluarga dan pemangku kepentingan lainnya. Hal ini dapat membuat anggota keluarga dan pemangku kepentingan lainnya merasa tidak dihargai, tidak diikutsertakan, dan tidak diinformasikan tentang masa depan bisnis keluarga. Di sisi lain, generasi penerus juga tidak mendapatkan masukan, saran, dan dukungan yang dibutuhkan untuk menjalankan bisnis keluarga. Akibatnya, suksesi menjadi tidak lancar, dan bisnis keluarga pun mengalami krisis.
Contoh: Salah satu bisnis keluarga yang mengalami kegagalan suksesi karena tidak ada komunikasi dan keterbukaan yang efektif adalah Gucci. Gucci adalah salah satu merek fesyen mewah terkenal di dunia, yang didirikan oleh Guccio Gucci pada tahun 1921. Bisnis ini berkembang di bidang tas, sepatu, pakaian, dan aksesoris, dengan citra yang elegan dan berkualitas. Pada tahun 1953, Guccio Gucci meninggal dunia, dan menyerahkan kepemimpinan bisnis kepada empat anaknya, yaitu Aldo, Vasco, Ugo, dan Rodolfo. Namun, suksesi ini tidak berjalan baik, karena adanya perselisihan dan persaingan antara para anak. Mereka juga tidak berkomunikasi dan terbuka dengan anggota keluarga dan pemangku kepentingan lainnya, seperti cucu-cucu, manajer, dan desainer. Hal ini menyebabkan bisnis Gucci mengalami kemerosotan, skandal, dan kudeta, hingga akhirnya dijual kepada perusahaan asing pada tahun 1993.
5. Tidak ada adaptasi dan inovasi yang berkelanjutan
Adaptasi dan inovasi yang berkelanjutan adalah hal yang diperlukan untuk menjaga daya saing dan pertumbuhan bisnis keluarga di tengah perubahan zaman dan pasar. Namun, banyak bisnis keluarga yang tidak melakukan adaptasi dan inovasi yang berkelanjutan, melainkan hanya berpegang pada tradisi, cara lama, dan zona nyaman. Hal ini dapat membuat bisnis keluarga menjadi ketinggalan, tidak relevan, dan tidak mampu memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan.
Salah satu contoh adaptasi dan inovasi yang tidak berkelanjutan adalah tidak mengikuti perkembangan teknologi dan tren yang terjadi di industri. Hal ini dapat
membuat bisnis keluarga menjadi tidak efisien, tidak efektif, dan tidak menarik bagi pelanggan. Di sisi lain, bisnis keluarga juga tidak menciptakan produk, layanan, atau solusi baru yang dapat memberikan nilai tambah dan keunggulan kompetitif bagi bisnis keluarga. Akibatnya, ketika harus menghadapi persaingan yang semakin ketat, bisnis keluarga tidak dapat bertahan, dan harus menutup usahanya.
Contoh: Salah satu bisnis keluarga yang mengalami kegagalan suksesi karena tidak ada adaptasi dan inovasi yang berkelanjutan adalah Kodak. Kodak adalah salah satu perusahaan fotografi terbesar di dunia, yang didirikan oleh George Eastman pada tahun 1888. Bisnis ini berkembang di bidang kamera, film, cetak, dan kimia, dengan merek yang sangat populer dan terpercaya. Namun, pada tahun 1976, Kodak menghadapi tantangan besar dari Fujifilm, yang menawarkan produk yang lebih murah dan berkualitas. Kodak tidak dapat beradaptasi dan berinovasi dengan cepat, karena terlalu bergantung pada bisnis film yang sudah mapan, dan tidak mau mengembangkan bisnis digital yang baru. Padahal, Kodak sendiri adalah perusahaan yang menciptakan kamera digital pertama pada tahun 1975, namun tidak memanfaatkannya secara optimal. Akibatnya, Kodak kehilangan pangsa pasar, pendapatan, dan reputasinya, hingga akhirnya bangkrut pada tahun 2012.
6. Tidak ada profesionalisme dan tata kelola yang baik
Profesionalisme dan tata kelola yang baik adalah hal yang sangat penting untuk menjaga kinerja dan kredibilitas bisnis keluarga di mata pelanggan, karyawan, mitra, dan pemangku kepentingan lainnya. Namun, banyak bisnis keluarga yang tidak memiliki profesionalisme dan tata kelola yang baik, melainkan hanya mengandalkan hubungan darah, loyalitas, dan nepotisme. Hal ini dapat menimbulkan masalah- masalah seperti kurangnya kompetensi, akuntabilitas, transparansi, dan integritas di dalam bisnis keluarga.
Salah satu contoh profesionalisme dan tata kelola yang tidak baik adalah tidak memiliki struktur, sistem, dan prosedur yang jelas dan tertulis dalam bisnis keluarga. Hal ini dapat membuat bisnis keluarga menjadi tidak teratur, tidak konsisten, dan tidak terukur. Di sisi lain, bisnis keluarga juga tidak memiliki mekanisme pengawasan, penilaian, dan penyelesaian konflik yang objektif dan adil. Akibatnya, bisnis keluarga menjadi rentan terhadap kesalahan, manipulasi, dan korupsi, yang dapat merugikan bisnis keluarga itu sendiri.
Contoh: Salah satu bisnis keluarga yang mengalami kegagalan suksesi karena tidak ada profesionalisme dan tata kelola yang baik adalah Parmalat. Parmalat adalah salah satu perusahaan susu terbesar di dunia, yang didirikan oleh Calisto Tanzi pada tahun 1961. Bisnis ini berkembang di bidang susu, keju, yogurt, dan makanan ringan, dengan merek yang terkenal di lebih dari 30 negara. Namun, pada tahun 2003, Parmalat mengungkapkan bahwa perusahaan ini memiliki utang sebesar 14 miliar euro, dan tidak dapat membayarnya. Hal ini disebabkan oleh adanya praktik-praktik yang tidak profesional dan tidak transparan, seperti penggelapan, pemalsuan, dan penghindaran pajak, yang dilakukan oleh Calisto Tanzi dan keluarganya, serta para manajer dan auditor yang bekerja sama dengan mereka. Skandal ini mengguncang dunia bisnis, dan menyebabkan Parmalat bangkrut, dan Calisto Tanzi dipenjara.
7. Tidak ada nilai dan budaya yang kuat dan konsisten
Nilai dan budaya yang kuat dan konsisten adalah hal yang sangat penting untuk menjaga identitas, visi, dan misi bisnis keluarga di tengah perubahan generasi dan lingkungan. Namun, banyak bisnis keluarga yang tidak memiliki nilai dan budaya yang kuat dan konsisten, melainkan hanya mengikuti arus, tren, atau kepentingan sesaat. Hal ini dapat membuat bisnis keluarga kehilangan arah, tujuan, dan makna, serta tidak dapat membedakan diri dari bisnis-bisnis lain.
Salah satu contoh nilai dan budaya yang tidak kuat dan konsisten adalah tidak memiliki filosofi, prinsip, atau etika bisnis yang jelas dan tertanam dalam bisnis keluarga. Hal ini dapat membuat bisnis keluarga menjadi tidak memiliki standar, pedoman, atau acuan dalam menjalankan bisnisnya. Di sisi lain, bisnis keluarga juga tidak memiliki cara, gaya, atau karakter yang khas dan unik dalam berbisnis.
Baik, saya akan melanjutkan artikel yang saya buat tentang 7 penyebab utama kenapa suksesi dalam bisnis gagal. Berikut ini adalah lanjutan dari artikel tersebut:
7. Tidak ada nilai dan budaya yang kuat dan konsisten
Nilai dan budaya yang kuat dan konsisten adalah hal yang sangat penting untuk menjaga identitas, visi, dan misi bisnis keluarga di tengah perubahan generasi dan lingkungan. Namun, banyak bisnis keluarga yang tidak memiliki nilai dan budaya yang kuat dan konsisten, melainkan hanya mengikuti arus, tren, atau kepentingan sesaat. Hal ini dapat membuat bisnis keluarga kehilangan arah, tujuan, dan makna, serta tidak dapat membedakan diri dari bisnis-bisnis lain.
Salah satu contoh nilai dan budaya yang tidak kuat dan konsisten adalah tidak memiliki filosofi, prinsip, atau etika bisnis yang jelas dan tertanam dalam bisnis keluarga. Hal ini dapat membuat bisnis keluarga menjadi tidak memiliki standar, pedoman, atau acuan dalam menjalankan bisnisnya. Di sisi lain, bisnis keluarga juga tidak memiliki cara, gaya, atau karakter yang khas dan unik dalam berbisnis.
Akibatnya, bisnis keluarga menjadi mudah terpengaruh, tergoda, atau terjebak oleh hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai dan budaya bisnis keluarga itu sendiri.
Contoh: Salah satu bisnis keluarga yang mengalami kegagalan suksesi karena tidak ada nilai dan budaya yang kuat dan konsisten adalah Versace. Versace adalah salah satu merek fesyen mewah terkenal di dunia, yang didirikan oleh Gianni Versace pada tahun 1978. Bisnis ini berkembang di bidang pakaian, aksesoris, parfum, dan dekorasi, dengan citra yang glamor, sensual, dan artistik. Pada tahun 1997, Gianni Versace meninggal dunia, dan menyerahkan kepemimpinan bisnis kepada adik- adiknya, yaitu Donatella Versace dan Santo Versace. Namun, suksesi ini tidak berjalan baik, karena adanya perbedaan visi dan gaya antara Donatella dan Santo.
Donatella lebih fokus pada aspek kreatif dan estetik, sementara Santo lebih fokus pada aspek bisnis dan finansial. Mereka juga tidak memiliki filosofi atau etika bisnis yang jelas, dan sering terlibat dalam skandal, kontroversi, dan gosip, yang merusak reputasi dan kredibilitas bisnis Versace. Pada tahun 2018, Versace dijual kepada perusahaan asing, yaitu Michael Kors Holdings, dengan harga 2,1 miliar dolar AS.